Rabu, 02 September 2015

HAIDL, ISTIHADLAH DAN NIFAS



Haidl, istihadlah dan nifas
1. Cara membedakan darah haidl
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ حُبَيْشٍ اَنَّهَا كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ ص: اِذَا كَانَ دَمُ اْلحَيْضَةِ فَاِنَّهُ اَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَاِذَا كَانَ كَذلِكَ فَاَمْسِكِى عَنِ الصَّلاَةِ. فَاِذَا كَانَ اْلآخَرُ فَتَوَضَّئِى وَ صَلِّى فَاِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ. ابو داود و النسائى
Dari ‘Urwah, dari Fathimah binti Abu Hubaisy, sesungguhnya ia beristihadlah, lalu Nabi SAW bersabda kepadanya, “Jika benar darah itu darah haidl, maka warnanya adalah hitam sebagaimana yang sudah dikenal, maka apaila benar demikian keadaannya, tinggalkanlah shalat. Akan tetapi apabila berwarna lain, maka berwudlulah dan shalatlah, karena sesungguhnya ia adalah dari gangguan urat”. [HR. Abu Dawud dan Nasai]
عَنْ اُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: كُنَّا لاَ نَعُدُّ الصُّفْرَةَ وَ اْلكُدْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا. ابو داود و البخارى و لم يذكر بعد الطهر
Dari Ummu ‘Athiyah, ia berkata, “Warna kuning dan keruh sesudah suci itu tidak kami anggap sesuatu darah hadil”. [HR. Abu Dawud dan Bukhari, tetapi Bukhari tidak menyebutkan kata-kata, “sesudah suci”]
Keterangan :
Hadits-hadits tersebut menunjukkan tentang cara membedakan sifat darah, yaitu : Kalau darah itu warnanya hitam (merah kehitam-hitaman) berarti darah haidl, dan kalau tidak demikian berarti darah istihadlah.
2. Lamanya haidl
Tentang lamanya haidl bagi para wanita adalah tidak sama. Hanya biasanya wanita-wanita haidl selama 6 atau 7 hari, tetapi bisa juga kurang atau lebih dari itu.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ اَبِى حُبَيْشٍ لِرَسُوْلِ اللهِ ص: اِنِّى امْرَأَةٌ اُسْتَحَاضُ فَلاَ اَطْهُرُ، اَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِنَّمَا ذلِكَ عِرْقٌ، وَ لَيْسَ بِاْلحَيْضَةِ. فَاِذَا اَقْبَلَتِ اْلحَيْضَةُ فَاتْرُكِى الصَّلاَةَ، فَاِذَا ذَهَبَ قَدْرُهَا فَاغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَ صَلِّى. البخارى و النسائى و ابو داود
Dari ‘Aisyah, ia berkata : Fathimah binti Abu Hubaisy memberitahu kepada Rasulullah SAW, “Sesungguhnya saya seorang perempuan yang beristihadlah, karena itu aku tidak suci, bolehkah aku meninggalkan shalat ?”. Maka Rasulullah SAW menjawab, “Sesungguhnya yang demikian itu hanya gangguan urat, bukan haidl. Oleh karena itu bila datang hadil tinggalkanlah shalat, lalu apa bila waktu haidl sudah habis, maka cucilah darah itu darimu, dan shalatlah”. [HR. Bukhari, Nasai dan Abu Dawud]
و فى رواية للجماعة الا ابن ماجه: فَاِذَا اَقْبَلَتِ اْلحَيْضَةُ فَدَعِى الصَّلاَةَ. وَ اِذَا اَدْبَرَتْ فَاغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَ صَلِّى
Dan dalam satu riwayat oleh Jama’ah kecuali Ibnu Majah dikatakan, “Kemudian apabila waktu haidl datang, maka tinggalkanlah shalat, dan apabila waktu haidl telah lewat maka hendaklah kamu cuci darah darimu dan shalatlah”.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: جَائَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ اَبِى حُبَيْشٍ اِلَى النَّبِيِّ ص فَقَالَتْ: اِنِّى امْرَأَةٌ اُسْتَحَاضُ فَلاَ اَطْهُرُ. اَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ؟ فَقَالَ لَهَا: اِجْتَنِبِى الصَّلاَةَ اَيَّامَ مَحِيْضِكَ، ثُمَّ اغْسِلِى وَ تَوَضَّإِى لِكُلِّ صَلاَةٍ. ثُمَّ صَلِّى وَ اِنْ قَطَرَ الدَّمُ عَلَى اْلحَصِيْرِ. احمد و ابن ماجه
Dari ‘Aisyah, ia berkata : Fathimah binti Abu Hubaisy datang kepada Nabi SAW, lalu ia bertanya : Sesungguhnya saya seorang wanita yang beristihadlah, karena itu saya tidak suci, bolehkah saya meninggalkan shalat ?”. Kemudian Nabi SAW menjawab kepadanya, “Jauhilah shalat pada hari-hari haidlmu, kemudian mandilah, dan berwudlulah untuk setiap shalat, kemudian shalatlah walaupun darah itu menetes diatas tikar”. [HR. Ahmad dan Ibnu Majah]
عَنْ حَمْنَةَ بِنْتِ جَحْشٍ قَالَتْ: كُنْتُ اُسْتَحَاضُ حَيْضَةً كَثِيْرَةً شَدِيْدَةً، فَاَتَيْتُ النَّبِيَّ ص اَسْتَفْتِيْهِ، فَقَالَ: اِنَّمَا هِيَ رِكْضَةٌ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَتَحِيْضِى سِتَّةَ اَيَّامٍ اَوْ سَبْعَةَ اَيَّامٍ، ثُمَّ اغْتَسِلِى. فَاِذَا اسْتَنْقَأْتِ فَصَلِّى اَرْبَعَةً وَ عِشْرِيْنَ اَوْ ثَلاَثَةً وَ عِشْرِيْنَ وَ صُوْمِى وَ صَلِّى. فَاِنَّ ذلِكَ يُجْزِئُكِ. وَ ذلِكَ فَافْعَلِى كُلُّ شَهْرٍ كَمَا تَحِيْضُ النِّسَاءِ. فَاِنْ قَوِيْتِ عَلَى اَنْ تُؤَخِّرِى الظُّهْرَ وَ تُعَجِّلِى اْلعَصْرَ، ثُمَّ تَغْتَسِلِى حِيْنَ تَطْهُرِيْنَ وَ تُصَلِّى الظُّهْرَ وَ اْلعَصْرَ جَمِيْعًا. ثُمَّ تُؤَخِّرِيْنَ اْلمَغْرِبَ وَ تُعَجِّلِيْنَ اْلعِشَاءَ. ثُمَّ تَغْتَسِلِيْنَ وَ تَجْمَعِيْنَ بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ فَافْعَلِى وَ تَغْتَسِلِيْنَ مَعَ الصُّبْحِ وَ تُصَلِّيْنَ. قَالَ: وَ هُوَ اَعْجَبُ اْلاَمْرَيْنِ اِلَيَّ. الجماعة الا النسائى و صححه الترمذى و حسنه البخارى
Dari Hamnah binti Jahsyin RA, ia berkata : Aku pernah istihadlah yang banyak dan deras, lalu saya datang kepada Nabi SAW meminta fatwanya, maka sabdanya, “Yang demikian itu adalah gangguan dari gangguan syaithan, maka berhaidl lah kamu enam hari atau tujuh hari, kemudian mandilah. Maka apabila kamu sudah merasa bersih, shalatlah dua puluh empat atau dua puluh tiga hari, puasalah dan shalatlah, karena yang demikian itu sudah mencukupimu. Dan demikian itu lakukanlah setiap bulan sebagaimana wanita-wanita berhaidl. Dan apabila kamu kuat mengakhirkan Dhuhur dan memajukan ‘Ashar (lakukanlah). Kemudian mandilah ketika kamu bersih dan shalatlah Dhuhur dan ‘Ashar bersama. Kemudian kamu akhirkan Maghrib dan menyegerakan ‘Isya’. Kemudian kamu mandi dan menjama’ antara dua shalat, lakukanlah. Dan kamu mandi untuk Shubuh dan shalat”. Beliau bersabda, “Dan demikian itu adalah yang lebih aku sukai dari yang lainnya”. [HR. Khamsah, kecuali Nasai, dishahihkan oleh Tirmidzi dan dihasankan oleh Bukhari]
3. Larangan bagi wanita yang sedang haidl
Wanita yang sedang haidl tidak boleh bersetubuh, shalat, thawaf dan tidak boleh berpuasa.
وَ يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلمَحِيْضِ، قُلْ هُوَ اَذًى فَاعْتَزِلُوا النّسَاءَ فِى اْلمَحِيْضِ وَ لاَ تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّى يَطْهُرْنَ. فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللهُ. اِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَ يُحِبُّ اْلمُتَطَهّرِيْنَ. البقرة:222
Mereka bertanya kepadamu tentang haidl. Katakanlah, “Haidl itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidl, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan membersihkan diri. [QS. Al-Baqarah : 222]
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ اَنَّ اْليَهُوْدَ كَانُوْا اِذَا حَاضَتِ اْلمَرْأَةُ مِنْهُمْ لَمْ يُؤَاكِدُوْهَا وَ لَمْ يُجَامِعُوْهَا فِى اْلبُيُوْتِ. فَسَأَلَ اَصْحَابُ النَّبِيِّ ص، فَاَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ: وَ يَسْاَلُوْنَكَ عَنِ اْلمَحِيْضِ .... الى آخر الآية .... فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ اِلاَّ النِّكَاحَ و فى لفظ: اِلاَّ اْلجِمَاعَ. الجماعة الا البخارى
Dari Anas bin Malik, bahwa orang-orang Yahudi apabila istri-istrinya haidl, mereka tidak makan bersama-sama dengannya, dan tidak mau tinggal bersama-sama dalam rumah. Lalu para shahabat Nabi SAW bertanya (kepada beliau), kemudian Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang (hukum) haidl, katakanlah, “Dia itu kotoran”, karena itu jauhilah perempuan-perempuan (istri-istri) yang sedang berhadil .... “. Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Berbuatlah apasaja kecuali setubuh”. Dan di dalam satu lafadh dikatakan, “kecuali jimak”. [HR. Jama’ah kecuali Bukhari]
عَنْ مَسْرُوْقِ بْنِ اْلاَجْدَعِ قَالَ: سَاَلْتُ عَائِشَةَ رض: مَا لِلرَّجُلِ مِنِ امْرَأَتِهِ اِذَا كَانَتْ حَائِضًا؟ قَالَتْ: كُلُّ شَيْءٍ اِلاَّ اْلفَرْجَ. البخارى فى التاريخ
Dari Masruq bin Al-Ajda’, ia berkata : Saya bertanya kepada ‘Aisyah, “Apa yang boleh dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap istrinya yang sedang haidl ?”. Ia menjawab, “Apasaja boleh, kecuali farjinya”. [HR. Bukhari di dalam tarikhnya]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ ص فِى الَّذِي يَأْتِى امْرَأَتَهُ وَ هِيَ حَائِضٌ يَتَصَدَّقُ بِدِيْنَارٍ اَوْ بِنِصْفِ دِيْنَارٍ. الجماعة
Dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi SAW, tentang orang yang menyetubuhi istrinya, padahal ia sedang haidl, yaitu, “Hendaknya ia memberi sedeqah dengan satu dinar, atau dengan setengah dinar”. [HR. Khamsah]
عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ اْلخُدْرِيِّ فِى حَدِيْثٍ لَهُ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ لِلنِّسَاءِ: اَلَيْسَ شَهَادَةُ اْلمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذَالِكُنَّ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا. اَ لَيْسَ اِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَ لَمْ تَصُمْ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذَالِكُنَّ مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِهَا. البخارى، مختصرا
Dari Abu Sa’id Al-Khudriy (dalam satu hadits baginya), bahwa Nabi SAW bertanya kepada orang-orang perempuan, “Bukankah kesaksian perepuan itu sama dengan separonya kesaksian laki-laki ?”. Mereka menjawab, “Benar”. Beliau SAW bersabda, “Demikian itulah kekurangan agamanya”. [HR. Bukhari, secara ringkas]
عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ: مَا بَالُ اْلحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَ لاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ؟ فَقَالَتْ: كَانَ يُصِيْبُنَا ذلِكَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص. فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَ لاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ. الجماعة
Dari Mu’adz, ia berkata : Saya bertanya kepada ‘Aisyah, yaitu “Mengapa perempuan yang haidl itu menqadla puasa dan tidak menqadla shalat ?”. Lalu ia menjawab, “Begitulah memang yang kami alami bersama Rasulullah SAW, yaitu kami diperintahkan mengqadla puasa dan tidak diperintahkan mengqadla shalat”. [HR. Jama’ah]
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: لَمَّا جِئْنَا سَرِفَ حِضْتُ. قَالَ النَّبِيُّ ص: اِفْعَلِى مَا يَفْعَلُ اْلحَاجُّ غَيْرَ اَنْ لاَ تَطُوْفِى بِاْلبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى. متفق عليه فى حديث طويل
Dari ‘Aisyah RA, tatkala kami sampai ke Sarif (suatu tempat + 10 mil dari Madinah ke Makkah) saya berhadil. Maka Nabi SAW bersabda, “Lakukanlah segala yang dilakukan oleh orang yang berhajji, hanyasaja tidak boleh berthawaf di Baitullah sehingga kamu suci”. [HR.Muttafaq ‘alaih, dalam hadits yang panjang]
4. Suami boleh menyetubuhi istrinya dalam keadaan istihadlah
عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ حَمْنَةَ بِنْتِ جَحْشٍ اَنَّهَا كَانَتْ تُسْتَحَاضُ وَ كَانَ زَوْجُهَا يُجَامِعُهَا. ابو داود
Dari ‘Ikrimah, dari Hamnah binti Jahsy, bahwa ia (pernah) beristihadlah, sedang suaminya menyetubuhinya”. [HR. Abu Dawud]
5. Nifas
عَنْ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ اْلاَعْلَى عَنْ اَبِى سَهْلٍ وَ اسْمُهُ كَثِيْرُ بْنُ زِيَادٍ عَنْ مَسَّةَ اْلاَزْدِيَّةِ عَنْ اُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: كَانَتِ النِّسَاءُ تَجْلِسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ص اَرْبَعِيْنَ يَوْمًا وَ كُنَّا نُطْلِى وُجُوْهَنَا بِاْلوَرْسِ مِنَ اْلكَلَفِ. الخمسة الا النسائى
Dari ‘Ali bin ‘Abdil A’laa, dari Abu Sahal (namanya sendiri : Katsir bin Ziyad), dari Massah Al-Azdiyah, dari Ummu Salamah ia berkata, “Adalah wanita-wanita nifas di masa Rasulullah SAW tidak shalat selama 40 hari, dan kami memberikan pilis pada wajah-wajah kami dengan warna merah tua yang terbua tdari daun wars”. [HR. Khamsah kecuali Nasai]
عَنْ اُمِّ سَلَمَةَ رض قَالَتْ: كَانَتِ اْلمَرْأَةُ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ ص تَقْعُدُ فِى اْلنِّفَاسِ اَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً لاَ يَأْمُرُهَا النَّبِيُّ ص بِقَضَاءِ صَلاَةِ النِّفَاسِ. ابو داود
Dari Ummu Salamah, ia berkata : Adalah wanita-wanita dari istri-istri Nabi SAW, mereka tidak shalat diwaktu nifas selama 40 hari, dan Nabi SAW tidak memerintahkannya mengqadla shalat karena nifas”. [HR. Abu Dawud]
Keterangan :
Dalil-dalil yang menunjukkkan batas waktu nifas 40 hari, satu sama lain saling kuat menguatkan, sehingga sampai kepada tingkatan boleh dipakai dan diterima, dengan 40 hari itu menjadi suatu batas yang tertentu. Oleh karena itu perumpamaan nifas wajib meninggalkan shalat 40 hari, kecuali jika ia melihat dieinya bersih sebelum itu. Dan hukumnya nifas itu sama dengan haidl dan semua hal.

TAYAMMUM


Tayammum
Tayammum adalah suatu syariat agama sebagai pengganti wudlu atau mandi janabat bagi yang hendak melaksanakan shalat karena sesuatu keadaan.
وَ اِنْ كُنْتُمْ مَرْضى اَوْ عَلى سَفَرٍ اَوْ جَآءَ اَحَدٌ مّنْكُمْ مّنَ اْلغَآئِطِ اَوْ لـمَسْتُمُ النّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَآءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَ اَيْدِيْكُمْ.... النساء 43 و المائدة:6
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), sapulah mukamu dan tanganmu. [QS. An-Nisaa’ : 43 dan Al-Maaidah : 6]
Keterangan :
Yang dimaksud orang sakit ialah, orang sakit yang apabila terkena air akan membahayakan baginya atau memperlambat kesembuhannya.
Termasuk dalam pengertian “tidak mendapat air”, ialah walaupun ada air tetapi tempatnya sangat jauh menurut ukuran yang umum, atau tempatnya berbahaya. Atau walaupun ada, tetapi sangat sedikit/terbatas dan dipergunakan untuk keperluan penting lainnya (mencuci, memasak dan lain-lain), sehingga adanya seolah sama dengan tidak ada.
عَنْ عَائِشَةَ اَنَّهَا اسْتَعَارَتْ مِنْ اَسْمَاءَ قِلاَدَةَ فَهَلَكَتْ فَبَعَثَ رَسُوْلُ اللهِ ص رِجَالاً فِى طَلَبِهَا. فَاَدْرَكَتْهُمُ الصَّلاَةَ وَ لَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ، فَصَلَّوْا بِغَيْرِ وُضُوْءٍ. فَلَمَّا اَتَوْا رَسُوْلَ اللهِ ص شَكَوْا ذلِكَ اِلَيْهِ، فَاَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ ايَةَ التَّيَمُّمِ. الجماعة الا الترمذى
Dari ‘Aisyah, sesungguhnya dia pernah meminjam sebuah kalung dari Asma’, lalu kalung itu hilang. Kemudian Rasulullah SAW mengutus beberapa orang untuk mencarinya, lalu mereka menemukannya, lalu mereka menumpai waktu shalat, padahal tidak ada air, lantas mereka shalat tanpa wudlu. Maka tatkala mereka datang kepada Rasulullah SAW, mereka mengadukan hal tersebut kepadanya, lalu Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat tayammum. [HR. Jama’ah, kecuali Tirmidzi, dalam Nailul Authar I : 313]
عَنْ عَلِيٍّ كَرَمَ اللهُ وَجْهَهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اُعْطِيْتُ مَا لَمْ يُعْطَ اَحَدٌ مِنَ اْلاَنْبِيَاءِ. نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ، وَ اُعْطِيْتُ مَفَاتِحَ اْلاَرْضِ،وَ سُمِّيْتُ اَحْمَدَ وَ جُعِلَ لِيَ التُّرَابُ طَهُوْرًا وَ جُعِلَتْ اُمَّتِى خَيْرَ اْلاُمَمِ. احمد
Dari ‘Ali karamallaahu wajhahu, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Aku diberi sesuatu yang tidak diberikan kepada seorang pun dari para nabi-nabi, yaitu : Aku diberi kemenangan dengan rasa takut di pihak lawan, aku diberi kunci-kunci untuk menaklukkan beberapa negeri, aku diberi nama Ahmad, dijadikan tanah bagiku sebagai pensuci, dan dijadikan ummatku sebaik-baik ummat”. [HR. Ahmad, dalam Nailul Authar I : 307]
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: فُضِّلْنَا عَلَى النَّاسِ بِثَلاَثٍ. جُعِلَتْ صُفُوْفُنَا كَصُفُوْفِ اْلمَلاَئِكَةِ، وَ جُعِلَتْ لَنَا اْلاَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدًا، وَ جُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُوْرًا اِذَا لَمْ نَجِدِ اْلمَاءَ. مسلم
Dari Hudzaifah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Kami diberi kelebihan atas manusia dengan tiga perkara, yaitu : Dijadikan barisan-barisan kami seperti barisan-barisan malaikat, dijadikan bagi kami bumi seluruhnya sebagai tempat shalat, dan dijadikan bagi kami debunya sebagai pensuci apabila kami tidak mendapatkan air”. [HR. Muslim, dalam Nailul Authar I : 308]
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص فِى سَفَرٍ فَصَلَّى بِالنَّاسِ. فَاِذَا هُوَ بِرَجُلٍ مُعْتَزِلٍ فَقَالَ: مَا مَنَعَكَ اَنْ تُصَلِّيَ؟ قَالَ: اَصَابَتْنِى جَنَابَةٌ وَ لاَ مَاءَ. قَالَ: عَلَيْكَ بِالصَّعِيْدِ، فَاِنَّهُ يَكْفِيْكَ. احمد و البخارى و مسلم فى نيل الاوطار 1:308
Dari ‘Imran bin Hushain, ia berkata : Kami pernah bersama Rasulullah SAW dalam safar (bepergian), lalu beliau SAW shalat bersama orang banyak, tiba-tiba ada seorang laki-laki menyendiri, lalu beliau bertanya, “Apa yang menghalangi kamu untuk shalat ?”. Ia menjawab, “Saya sedang junub, padahal tidak ada air”. (Kemudian) Nabi SAW bersabda, “Gunakanlah debu, karena sesungguhnya ia cukup bagimu”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim, dalam Nailul Authar I : 308]
عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ اْلخُدْرِيِّ قَالَ: خَرَجَ رَجُلاَنِ فِى سَفَرٍ فَحَضَرَتِ الصَّلاَةُ وَ لَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ فَتَيَمَّمَا صَعِيْدًا طَيَّبًا فَصَلَّيَا. ثُمَّ وَجَدَ اْلمَاءَ فِى اْلوَقْتِ فَاَعَادَ اَحَدُهُمَا اْلوُضُوْءَ وَ الصَّلاَةَ وَ لَمْ يُعِدِ اْلآخَرُ ثُمَّ اَتَيَا رَسُوْلَ اللهِ ص فَذَكَرَ ذلِكَ لَهُ فَقَالَ لِلَّذِى لَمْ يُعِدْ: اَصَبْتَ السُّنَّةَ وَ اَجْزَاَتْكَ صَلاَتُكَ. وَ قَالَ لِلَّذِى تَوَضَّأَ وَ اَعَادَ: لَكَ اْلاَجْرُ مَرَّتَيْنِ. النسائى و ابو داود و هذا لفظه
Dari ‘Atha’ bin Yasar, dari Abu Sa’id Al-Khudriy, ia berkata : Dua orang laki-laki keluar dalam satu bepergian, lalu datang waktu shalat (padahal keduanya tidak membawa air), kemudian kedua orang itu bertayammum dengan debu yang bersih, lantas keduanya shalat, kemudian (selesai shalat) mendapati air dalam waktu itu. Lalu salah seorang dari padanya mengulangi dengan wudlu dan shalat, sedang yang lain tidak mengulangi. Kemudian kedua orang itu menghadap Rasulullah SAW, lalu menceritakan hal itu kepada beliau, maka Nabi SAW bersabda kepada orang yang tidak mengulangi, “Kamu sesuai dengan sunnah dan shalatmu sudah memadai”. Dan terhadap orang yang wudlu dan mengulangi, beliau bersabda, “Bagimu pahala dua kali”. [HR. Nasai dan Abu Dawud, dan ini adalah lafadh Abu Dawud, dalam Nailul Authar I : 311]
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: خَرَجْنَا فِى سَفَرٍ فَاَصَابَ رَجُلاً مِنَّا حَجَرٌ، فَشَجَّهُ فِى رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ اَصْحَابَهُ: هَلْ تَجِدُوْنَ لِى رُخْصَةً فِى التَّيَمُّمِ؟ فَقَالُوْا: مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَ اَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى اْلمَاءِ. فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ. فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى رَسُوْلِ اللهِ اُخْبِرَ بِذلِكَ فَقَالَ: قَتَلُوْهُ قَتَلَهُمُ اللهُ. اَلاَ سَأَلُوْا اِذْ لَمْ تَعْلَمُوْا؟ فَاِنَّمَا شِفَاءُ اْلعَيِّ السُّؤَالُ. اِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْهِ اَنْ يَتَيَمَّمَ وَ يَعْصِرَ اَوْ يَعْصِبَ عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهِ وَ يَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ. ابو داود و الدارقطنى
Dari Jabir, ia berkata : Kami pernah keluar dalam safar (bepergian), lalu salah seorang diantara kami kena batu, sehingga luka di kepalanya, kemudian ia mimpi keluar mani, lalu bertanya kepada kawan-kawannya, “Apakah kamu mendapatkan dalil yang membolehkan aku tayammum ?”. Mereka menjawab, “Kami tidak mendapati dalil yang membolehkan kamu tayammum, karena dapat menggunakan air”. Lalu ia mandi, kemudian ia mati. Maka tatkala kami sampai di hadapan Nabi SAW, hal itu diceritakan kepada beliau, lalu Nabi SAW bersabda, “Celaka mereka itu, karena mereka telah membunuhnya ! Mengapa mereka tidak bertanya. Sesungguhnya cukup baginya bertayammum dan membalut lukanya itu dengan sepotong kain, lantas ia mengusap di atasnya, dan membasuh seluruh badannya”. [HR. Abu Dawud dan Daruquthni, dalam Nailul Authar I : 301]
عَنْ عَمْرِو بْنِ اْلعَاصِ اَنَّهُ لَمَّا بَعَثَ فِى غَزْوَةِ ذَاتِ السَّلاَسِلِ قَالَ: احْتَلَمْتُ فِى لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ شَدِيْدَةِ اْلبَرْدِ، فَاَشْفَقْتُ اِنِ اغْتَسَلْتُ اَنْ اَهْلِكَ. فَتَيَمَّمْتُ، ثُمَّ صَلَّيْتُ بِاَصْحَابِى صَلاَةَ الصُّبْحِ. فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى رَسُوْلِ اللهِ ص ذَكَرُوْا ذلِكَ لَهُ. فَقَالَ: يَا عَمّرُو، صَلَّيْتَ بِاَصْحَابِكَ وَ اَنْتَ جُنُبٌ؟ قُلْتُ: ذَكَرْتُ قَوْلَ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ {وَ لاَ تَقْتُلُوْآ اَنْفُسَكُمْ، اِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا} فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ. فَضَحِكَ رَسُوْلُ اللهِ ص وَ لَمْ يَقُلْ شَيْئًا. احمد و ابو داود و الدارقطنى
Dari ‘Amr bin Al-‘Ash, sesungguhnya setelah ia diutus dalam peperangan Dzatus Salasil, ia berkata : Saya mimpi sampai keluar mani pada suau malam yang sangat dingin. Kemudian saya bangun pagi-pagi. Kalau saya mandi tentu akan celaka, karena itu saya bertaammum. Kemudian saya mengimami shalat Shubuh bersama dengan kawan-kawan saya. Ketika kami sampai di hadapan Rasulullah SAW, lalu mereka menceritakan peristiwa itu kepadanya. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Ya ‘Amr, apakah kamu telah menjadi imam dalam shalat bersama kawan-kawanmu padahal kamu junug ?”. Saya menjawab, “Saya ingat firman Allah ‘Azza wa Jalla (yang artinya (Dan jangan kamu membunuh diri-dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang terhadap kamu”, lalu saya tayammum, kemudian shalat”. Kemudian Rasulullah SAW tertawa, tanpa mengatakan sesuatu apapun”. [HR. Ahmad, Abu Dawud dan Daruquthni, dalam Nailul Authar I : 302]
Cara tayammu :
Cara yang dituntunkan oleh Nabi untuk melakukan tayammum adalah :
@ Menepukkan tangan ke sembarang tempat yang suci dan mengandung debu (diatas selimut, pada tembuk dan sebagainya) dengan satu kali tepukan.
@ Kemudian mengusapkannya ke muka dan kepada kedua tangan hingga pergelangan, dengan tanpa mengulangi menepuk lagi tempat yang yang berdebu tersebut.
@ Boleh pula dengan meniup-niupnya terlebih dahulu.
Sabda Nabi SAW :
عَنْ عَمَّارِ يْنِ يَاسِرٍ قَالَ: بَعَثَنِى النَّبِيُّ ص فِى حَاجَةٍ فَاَجْنَبْتُ فَلَمْ اَجِدِ اْلمَاءَ فَتَمَرَّغْتُ فِى الصَّعِيْدِ كَمَا تَتَمَرَّغُ الدَّابَّةُ، ثُمَّ اَتَيْتُ النَّبِيَّ ص، فَذَكَرْتُ لَهُ ذلِكَ فَقَالَ: اِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ اَنْ تَقُوْلَ بِيَدَيْكَ هكَذَا. ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدَيْهِ اْلاَرْضَ ضَرْبَةً وَاحِدَةً، ثُمَّ مَسَحَ الشِّمَالَ عَلَى اْليَمِيْنِ وَ طَاهِرَ كَفَّيْهِ وَ وَجْهَهُ. متفق عليه
Dari ‘Ammar bin Yasir RA, ia berkata : Nabi SAW penah mengutus saya untuk suatu keperluan. Kemudian dalam perjalanan itu saya berjunub, akan tetapi tidak memperoleh air, lalu saya berguling di tanah sebagaimana binatang berguling. Setelah itu saya pulang dan menghadap Nabi SAW, serta menceritakan pengalaman saya tersebut. Beliau bersabda, “Hanyasanya kamu cukup (bertayammum) dengan kedua tanganmu demikian. Kemudian beliau menepukkan kedua tangannya ke bumi satu kali, lalu menyapu tangan kanannya dengan tangan kirinya, lalu punggung kedua telapak tangannya serta mukanya”. [HR. Muttafaq ‘alaih, dan lafadh itu bagi Muslim]
Dan dalam riwayat bagi Bukhari :
فَضَرَبَ النَّبِيُّ ص بِكَفَّيْهِ اْلاَرْضَ وَ نَفَخَ فِيْهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَ كَفَّيْهِ. البخارى
Lalu Nabi SAW menepukkan kedua tangannya ke bumi, lalu meniup keduanya, kemudian menyapukannya ke muka dan dua tangannya (hingga pergelangan)”. [HR. Bukhari I : 87]
Kesimpulan :
Tayammum adalah sebagai pengganti wudlu atau mandi junub bagi orang yang dalam keadaan sebagai berikut :
1.  Sakit, yang akan membahayakan atau memperlambat kesembuhannya bila terkena air.
2.  Orang yang tidak mendapatkan air, baik di tempat muqim maupun di tempat safar.
Adapun tentang musafir yang mendapat airu, di sini ulama ada dua pendapat.
Pendapat pertama, orang musafir boleh tayammum, sebagai pengganti wudlu atau mandi junub, walaupun ada air. Mereka beralasan dari pemahaman surat An-Nisaa’ ayat 43 dan Al-Maaidah ayat 6.
Pendapat kedua, orang musafir tidak boleh tayammum sebagai pengganti wudlu atau mandi junub, bila ada air. Mereka beralasan karena tidak adanya praktek dari Nabi SAW atau shahabat bertayammum diwaktu safar dalam keadaan ada air, bukan karena sakit atau udara yang amat dingin.

YANG MEMBATHALKAN WUDLU 2



1.  Hal-hal yang disunnatkan kita berwudlu
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ: لَوْ لاَ اَنْ اَشُقَّ عَلَى اُمَّتِى َلاَمَرْتُهُمْ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ بِوُضُوْءٍ وَ مَعَ كُلِّ وُضُوْءٍ بِسِوَاكٍ. احمد باسناد صحيح، فى نيل الاوطار 1:245
Dari Abu Hurairar dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Sekiranya tidak akan memberatkan ummatku, tentu aku perintahkan kepada mereka supaya berwudlu untuk tiap-tiap shalat dan setiap berwudlu supaya bersiwak (menggosok gigi)”. [HR. Ahmad dengan sanad yang shahih, dalam Nailul Authar 1 : 246]
عَنْ اَنَسٍ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَتَوَضَّأُ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ. قِيْلَ لَهُ: فَاَنْتُمْ كَيْفَ كُنْتُمْ تَصْنَعُوْنَ؟ قَالَ: كُنَّا نُصَلِّى الصَّلَوَاتِ بِوُضُوْءٍ وَاحِدٍ مَا لَمْ يُحْدِثْ. الجماعة الا مسلما
Dari Anas, ia berkata, “Biasanya Rasulullah SAW berwudlu pada tiap-tiap akan shalat”. Lalu ada orang bertanya keapda Anas, “Sedangkan kalian, bagaimana kalian berbuat ?”. Anas menjawab, “Kami biasa shalat beberapa shalat dengan satu kali wudlu, selama kami belum bathal”. [HR. Jama’ah, kecuali Muslim, dalam Nailul Authar 1 : 248]
2.  Berwudlu setelah makan makanan yang disentuh api
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: قَالَ النَّبِيُّ ص: تَوَضَّئُوْا مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ. احمد و مسلم و النسائى
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata : Nabi SAW bersabda, “Berwudlulah kamu karena makan makanan yang disentuh api”. [HR. Ahmad, Muslim dan Nasai]
عَنْ مَيْمُوْنَةَ رض قَالَتْ: اَكَلَ النَّبِيُّ ص مِنْ كَتِفِ شَاةٍ ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى وَ لَمْ يَتَوَضَّأْ. متفق عليه
Dari Maimunah RA, ia berkata : Nabi SAW pernah makan daging sampil depan kambing, sesudah itu beliaupun bangun lalu shalat dengan tidak berwudlu lagi”. [HR. Bukhari dan Muslim]
Keterangan :
Pada hadits pertama, Nabi SAW memerintahkan kepada ummatnya supaya berwudlu setelah makan makanan yang disentuh api. Sedang pada riwayat kedua, Maimunah menjelaskan bahwa Nabi pernah makan sampil depan kambing (yang tentunya dimasak diatas api), setelah itu beliau shalat tanpa berwudlu lagi.
Dari riwayat ini, dapat diambil kesimpulan bahwa perintah supaya berwudlu sehabis makan makanan yang tersentuh api pada hadits pertama itu hukumnya adalah sunnah.
3.  Sunnah berwudlu sebelum tidur
عَنِ اْلبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِذَا اَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ اْلاَيْمَنِ وَ قُلْ: اَللّهُمَّ اَسْلَمْتُ نَفْسِى اِلَيْكَ وَ فَوَضْتُ اَمْرِى اِلَيْكَ وَ اَلْجَأْتُ ظُهْرِى اِلَيْكَ رَهْبَةً وَ رَغْبَةً اِلَيْكَ لاَ مَلْجَأَ وَ لاَ مَنْجَى مِنْكَ اِلاَّ اِلَيْكَ امَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِى اَنْزَلْتَ وَ بِنَبِيِّكَ الَّذِى اَرْسَلْتَ. فَاِنْ مُتَّ مُتَّ عَلَى اْلفِطْرَةِ. وَ اجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَقُوْلُ. فَقُلْتُ: اَسْتَذْكِرُهُنَّ وَ بِرَسُوْلِكَ الَّذِى اَرْسَلْتَ. قَالَ: لاَ، وَ نَبِيِّكَ الَّذِى اَرْسَلْتَ. البخارى 5:146
Dari Baraa’ bin ‘Azib RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kamu akan tidur, maka berwudlulah sebagaimana wudlu untuk shalat. Kemudian berbaringlah atas lambung kananmu dan bacalah [Allaahumma aslamtu nafsii ilaika wa fawwadltu amrii ilaika wa alja’tu dhahrii ilaika rahbatan wa raghbatan ilaika laa malja-a wa laa manjaa minka illaa ilaika. Aamantu bi kitaabika alladzii anzalta wa bi Nabiyyika alladzii arsalta] (Ya Allah aku serahkan diriku kepada-Mu, aku pulangkan segala urusanku kepada-Mu dan aku melindungkan diriku kepada-Mu, karena takutku dan cintaku kepada-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan melepaskan diri dari-Mu melainkan kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan dan kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus), maka jika kamu mati, niscaya kamu mati di dalam fithrah (kesucian) dan jadikanlah doa itu sebagai akhir perkataanmu. (Baraa’ berkata) lalu aku mengulangi doa itu (supaya didengar Nabi SAW) dengan [Wa bi rasuulika alladzii arsalta]. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak begitu, tetapi [Wa bi Nabiyyika alladzii arsalta]”. [HR. Bukhari 7 : 146]
4.  Orang yang berjunub, bila hendak tidur, disunnatkan mencuci kemaluannya dan berwudlu
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ ص اِذَا اَرَادَ اَنْ يَنَامَ وَ هُوَ جُنُبٌ غَسَلَ فَرْجَهُ وَ تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلصَّلاَةِ. الجماعة
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata, “Nabi SAW apabila akan tidur sedang beliau junub, beliau membasuh kemaluannya dan berwudlu sebagaimana wudlunya untuk shalat”. [HR. Jama’ah]
5.  Orang-orang yang berjunub disunnatkan wudlu bila hendak mengulangi persetubuhannya
عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ اْلخُدْرِيِّ رض قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ص: اِذَا اَتَى اَحَدُكُمْ اَهْلَهُ ثُمَّ اَرَادَ اَنْ يَعُوْدَ فَلْيَتَوَضَّأْ. الجماعة الا البخارى
Dari Abu Sa’id Al-Khudriy RA, ia berkata : Nabi SAW bersabda, “Apabila seseorang diantara kamu telah mengumpuli istrinya kemudian hendak mengulanginya hendaklah ia berwudlu”. [HR. Jama’ah, kecuali Bukhari]
6.  Bila hendak makan dan minum, bagi orang yang junub disunnatkan berwudlu
عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ رض قَالَ: اِنَّ النَّبِيَّ ص رَخَّصَ لِلْجُنُبِ اِذَا اَرَادَ اَنْ يَأْكُلَ اَوْ يَشْرَبَ اَوْ يَنَامَ اَنْ يَتَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلصَّلاَةِ. احمد و الترمذى
Dari ‘Ammar bin Yasir RA, ia berkata, “Bahwasanya Nabi SAW membolehkan bagi orang berjunub, apabila hendak makan-minum atau tidur supaya berwudlu sebagaimana wudlu untuk shalat”. [HR. Ahmad dan Tirmidzi]
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ ص اِذَا اَرَادَ اَنْ يَأْكُلَ اَوْ يَشْرَبَ اَوْ يَنَامَ وَ هُوَ جُنُبٌ يَغْسِلُ يَدَيْهِ ثُمَّ يَأْكُلُ وَ يَشْرَبُ. احمد و النسائى
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata : Nabi SAW apabila hendak makan-minum atau tidur sedang beliau junub, beliau membasuh kedua tangannya, sesudah itu beliau makan dan minum”. [HR. Ahmad dan Nasai]
Bacaan sesudah wudlu
عَنْ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: مَا مِنْكُمْ مِنْ اَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُسْبِغُ اْلوُضُوْءَ ثُمَّ يَقُوْلُ: اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ. اِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ اَبْوَابُ اْلجَنَّةِ الثَّمَانِيَّةُ يَدْخُلُ مِنْ اَيِّهَا شَاءَ. احمد و ابو داود و الترمذى
Dari ‘Umar bin Khaththab RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seseorang diantara kalian yang berwudlu dengan menyempurnakan wudlunya, lalu membaca [Asyhadu allaa illaaha illaallaah wahdahu laa syariikalah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa Rasuuluh] (Aku bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad itu adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya), melainkan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang delapan, ia boleh masuk dari pintu manasaja yang ia kehendaki”. [HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi]
Orang yang berhadats boleh membaca/menyentuh Al-Qur’an
قَالَتْ عَائِشَةُ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ اَحْيَانِهِ. مسلم
‘Aisyah RA telah berkata, “Rasulullah SAW selalu menyebut (nama) Allah di setiap waktu”. [HSR Muslim]
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: اَخْبَرَنِى اَبُوْ سُفْيَانَ اَنَّ هِرَقْلَ دَعَا بِكِتَابِ النَّبِيِّ ص فَقَرَأَهُ، فَاِذَا فِيْهِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. يَا اَهْلَ اْلكِتَابِ تَعَالَوْا اِلى كَلِمَةٍ ... البخارى
Ibnu ‘Abbas berkata : Abu Sufyan telah memberitahukan kepada saya, bahwa Heraclius pernah meminta surat yang (dibawa) dari Nabi SAW, kemudian ia membacanya, sedang di situ tertulis “Bismillaahir rahmaanir rahiim. (Dengan nama Allah, yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang), hai orang-orang ahli kitab, marilah kepada agama ..... “. [HR. Bukhari]
اِنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ لَمْ يَرَ بِاْلقِرَاءَةِ لِلْجُنُبِ بَأْسًا. البخارى
Sesungguhnya Ibnu ‘Abbas RA tiada memandang sebagai suatu kesalahan bagi seorang yang sedang berjunub membaca Al-Qur’an. [HR. Bukhari]
اِنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ كَانَ يَقْرَأُ وِرْدَهُ وَ هُوَ جُنُبٌ. ابن المنذى
Sesungguhnya Ibnu ‘Abbas biasa membaca wirid (sebagian dari Al-Qur’an) walaupun ia junub. [HR. Ibnu Mundzir]
قَالَ اْلحَكَمُ: اِنِّى َلاَذْبَحُ وَ اَنَا جُنُبٌ وَ قَالَ اللهُ: وَ لاَ تَأْكُلُوْا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللهِ. البخارى
Hakam (salah seorang shahabat) berkata : Sesungguhnya saya pernah menyembelih (dengan membaca basmalah), padahal saya sedang junub, karena Allah berfirman, “Janganlah kalian memakan (sembelihan) yang tidak disebut nama Allah”. [HR. Bukhari]
Keterangan :
Dari hadits ‘Aisyah RA diatas dengan keumuman lafadhnya, berarti Nabi SAW selalu menyebut nama Allah, baik dalam keadaan suci maupun berhadats besar ataupun kecil.
Shahabat Ibnu ‘Abbas membolehkan orang berjunub membaca Al-Qur’an dan beliau sendiri melakukannya. Riwayat shahabat Hakam yang menyembelih dengan (enyebut) nama Allah, yaitu Bismillah yang merupakan sebagian dari ayat Al-Qur’an, padahal beliau sedang junub. Begitu pula riwayat Abu Sufyan, bahwa seorang penguasa Roma yang beragama Nashrani yang tentu saja tidak mengenal syariat mandi janabat atau wudlu bila berhadats, dia dikirimi surat oleh Nabi SAW dengan menyertakan ayat sebagai materi dakwah kepadanya.
Maka dari seluruh hadits dan riwayat tersebut, bisa diambil kesimpulan, bahwa hukum bagi seseorang yang sedang berhadats besar maupun kecil untuk membaca Al-Qur’an adalah boleh dan tidak dilarang oleh agama.
Tentang wanita haidl atau nifas membaca Al-Qur’an
Tentang wanita haidl atau nifas membaca Al-Qur’an ini, memang ada hadits yang melarangnya, tetapi setelah diselidiki, ternyata hadits itu lemah, hadits  itu sebagai berikut :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ: لاَ يَقْرَإِ اْلجُنُبُ وَ لاَ اْلحَائِضُ شَيْئًا مِنَ اْلقُرْآنِ. ابو داود و الترمذى و ابن ماجه
Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Orang yang berjunub dan wanita yang haidl tidak boleh membaca sesuatu dari Al-Qur’an”. [HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah, Nailul Authar I : 266]
عَنْ جَابِرٍ عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ: لاَ يَقْرَإِ اْلحَائِضُ وَ لاَ النُّفَسَآءُ مِنَ اْلقُرْآنِ شَيْئًا. الدارقطنى
Dari Jabir, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Wanita yang sedang haidl dan yang sedang nifas tidak boleh membaca sesuatu dari Al-Qur’an”. [HR. Daruquthni, Nailul Authar I : 267]
Hadits-hadits tersebut adalah lemah dan tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk menetapkan hukum, karena pada hadits pertama dalam isnadnya terdapat Ismail bin ‘Iyasy dan dia dilemahkan oleh imam-imam Bukhari, Ahmad dan lain-lain ahli hadits.
Sedang hadits kedua dalam isnadnya terdapat seorang yang bernama Muhammad bin Fadl yang dikenal oleh para ahli hadits sebagai seorang pemalsu hadits yang populair.
Kesimpulan :
Karena tidak ada dasar yang kuat yang melarang wanita yang sedang haidl dan nifas untuk membaca Al-Qur’an, maka hukumnya kembali kepada hukum asal, yaitu boleh.

YANG MEMBATHALKAN WUDLU



Hal-hal yang membathalkan wudlu
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رض قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ص: لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طَهُوْرٍ وَ لاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ. الجماعة
Dari Ibnu ‘Umar RA, ia berkata : Nabi SAW bersabda, “Allah tidak menerima shalat yang dilakukan dengan tidak suci, dan Allah tidak menerima sedeqah yang dilakukan dengan harta yang diperoleh dari jalan khianat”. [HR. Jama’ah]
Keterangan :
Hadits ini menyatakan, bahwa tidak sah (tidak diterima) shalat seseorang yang tidak suci, dan demikian pula tidak akan diterima amal sedeqah yang menggunakan harta yang haram.
Seseorang dikatakan ”tidak suci” sehingga terhalang untuk melakukan shalat, ialah bila ia berhadats, baik hadats besar maupun hadats kecil.
Untuk bersuci dari hadats besar, agama menyariatkan mandi janabat, sedang bagi hadatas kecil maka cukup dengan wudlu, sebagaimana firman Allah SWT :
... وَ اِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَطَّهَّرُوْا... المائدة:6
Dan jika kamu junub (sedang kamu hendak shalat) maka mandilah. [QS. Al-Maidah : 6]
Dan Hadits Rasulullah SAW :
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ اَحَدِكُمْ اِذَا اَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ اَهْلِ حَضَرَمَوْتَ: مَا اْلحَدَثُ يَا اَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَالَ: فُسَاءٌ اَوْ ضُرَاطٌ. متفق عليه
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Allah tidak akan menerima shalat seseorang diantara kamu apabila berhadats, sehingga ia berwudlu”. Lalu ada seorang dari Hadlaramaut bertanya, “Apa yang dikatakan hadats itu, ya Abu Hurairah ?”. Abu Hurairah menjawab, “”(Hadats itu ialah) kentut yang tidak bersuara ataupun kentut yang bersuara”. [HR. Muttafaq ‘alaih]
Abu Hurairah menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “hadats” itu adalah mengeluarkan angin, baik bersuara maupun tidak, ini bermaksud menerangkannya dengan singkat tetapi mencakup keseluruhan.
Tegasnya, beliau bukan bermaksud mengatakan bahwa hadats itu hanya mengeluarkan angin (kentut) saja, tetapi dengan menerangkan bahwa mengeluarkan angin yang bersuara atau tidak bersuara itu pun sudah termasuk hadatas, maka apalagi yang lebih berat dari itu.
Perhatikan pula firman Allah SWT di bawah ini :
... اَوْ جَآءَ اَحَدٌ مّنْكُمْ مّنَ اْلغَآئِطَ اَوْ لـمَسْتُمُ النّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَآءً فَتَيَمَّمُوْا .... المائدة:6
... atau seseorang diantara kamu datang dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan (bersetubuh) lalu kami tidak mendapatkan iar, maka bertayammumlah ... [QS. Al-aidah : 6]
Datang dari tempat buant air” itu yang dimaksud ialah mengeluarkan sesuatu dari dua jalan kotoran, dimana biasanya seseorang mengeluarkannya di tempat buang iar. Dan ini termasuk hadats kecil.
Menyentuh perempuan” yang dimaksud ialah bersetubuh, dan ini menunjukkan hadats besar.
Kedua-duanya, baik berhadats kecil maupun berhadats besar bila tidak mendapatkan air untuk wudlu/mandi janabat, maka sebagai gantinya agama menuntunkan untuk bertayammum.
Kesimpulan :
Seseorang yang hendak shalat, wajib suci dari hadats, baik hadats besar maupun hadats kecil. Atau dengan kata lain, bathal wudlu seseorang bila ia mengalami hadats kecil maupun hadats besar.
Yang termasuk hadats besar :
a. bersetubuh, baik mengeluarkan mani maupun tidak.
b. mengeluarkan mani sebab mimpi dan lain-lain.
c. mengeluarkan darah haidl.
d. mengeluarkan darah nifas.
Keempat macam perkara ini mewajibkan mandi junub/ tayammum untuk bersuci bila hendak shalat.
Yang termasuk hadats kecil :
a. mengeluarkan kotoran (tinja).
b. mengeluarkan kencing.
c. mengeluarkan madzi (air sex).
d. mengeluarkan angin (kentut), baik bersuara maupun tidak.
Keraguan berhadats tidak membathalkan wudlu
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: يَأْتِى اَحَدَكُمُ الشَّيطَانُ فِى صَلاَتِهِ فَيَنْفُخُ فِى مَقْعَدَتِهِ فَيُخَيَّلُ اِلَيْهِ اَنَّهُ اَحْدَثُ وَ لَمْ يُحْدِثْ. فَاِذَا وَجَدَ ذلِكَ فَلاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا اَوْ يَجِدَ رِيْحًا. البزار
Dari Ibnu ‘Abbas RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Syithan itu datang kepada seseorang yang sedang shalat, lalu ia hembus di pantat orang itu, maka orang itupun merasa berhadats, padahal sebenarnya tidak berhadats. Karena itu apabila seseorang berperasaan demikian, janganlah ia berpaling dari shalatnya, sehingga ia mendengar suara kentutunya atau mencium baunya”. [HR. Al-Bazzar]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ص: اِذَا وَجَدَ اَحَدُكُمْ فِى بَطْنِهِ شَيْئًا فَاَشْكَلَ عَلَيْهِ اَ خَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ اَوْ لاَ فَلاَ يَخْرُجْ مِنَ اْلمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا اَوْ يَجِدَ رِيْحًا. مسلم و الترمذى
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Nabi SAW bersabda, “Aabila salah seorang diantara kamu merasakan ada sesuatu di perutnya, apakah telah keluar kentut dari padanya atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid (untuk berwudlu) sehingga ia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya”. [HR. Muslim dan Tirmidzi]
عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ اْلخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ص: اَنَّ الشَّيْطَانَ يَأْتِى اَحَدَكُمْ وَ هُوَ فِى الصَّلاَةِ فَيَأْخُذُ شَعْرَةً مِنْ دُبُرِهِ فَيَمُدُّهَا فَيَرَى اَنَّهُ قَدْ اَحْدَثَ فَلاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا اَوْ رِيْحًا. ابو داود
Dari Abu Sa’id Al-Khudriy RA, ia berkata, “Syaithan datang kepada seseorang diantara kamu yang sedang shalat, lalu memegang sehelai rambut dari dubur orang yang sedang shalat itu dan menariknya. Karena itu terasalah oleh orang itu, bahwa ia telah berhadats. Maka janganlah ia berpaling dari shalatnya, sehingga mendengar suarau kentutu atau mencium baunya”. [HR. Abu Dawud]
Bersentuhan pria - wanita tidak membathalkan wudlu
Sementara ulama ada yang berpendapat bahwa bila seorang laki-laki bersentuhan kulit dengan wanita yang bukan mahramnya, maka bathallah wudlunya.
Mereka beralasan dengan bunyi ayat 43 surat An-Nisaa’ dan Al-Maidah ayat 6 sebagai berikut :
... وَ اِنْ كُنْتُمْ مَرْضى اَوْ عَلى سَفَرٍ اَوْ جَآءَ اَحَدٌ مّنْكُمْ مّنَ اْلغَآئِطِ اَوْ لـمَسْتُمُ النّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَآءً فَتَيَمَّمُوْا... المائدة:6
... dan jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah. [QS. An-Nisaa’ : 43, dan Al-Maaidah 6]
Mereka mengecualikan wanita-wanita yang termasuk mahram (wanita-wanita yang diharamkan untuk dikawini) dari keumuman lafadh لَمَسْتُمُ النِّسَاءَ (kalian menyentuh wanita) dalam ayat diatas.
Jadi menurut mereka bila sentuhan itu terjadi antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang termasuk mahram laki-laki tersebut, yang demikian itu tidaklah membathalkan wudlu keduanya. Sedangkan yang termasuk mahram sebagaimana yang tertera dalam ayat 22 dan 23 surat An-Nisaa’.
وَ لاَ تَنْكِحُوْا مَا نَكَحَ ابَآؤُكُمْ مّنَ النّسَآءِ اِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ، اِنَّه كَانَ فَاحِشَةً وَّ مَقْتًا، وَ سَآءَ سَبِيْلاً. حُرّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهَاتُكُمْ وَ بَنَاتُكُمْ وَ اَخَوَاتُكُمْ وَ عَمَّاتُكُمْ وَ خَالَتُكُمْ وَ بَنتُ اْلاَخِ وَ بَنتُ اْلاُخْتِ وَ اُمَّهَاتُكُمُ الّتِى اَرْضَعْنَكُمْ وَ اَخَوَاتُكُمْ مّنَ الرَّضَاعَةِ وَ اُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَ رَبَآئِبُكُمُ الّتِى فِيْ حُجُوْرِكُمْ مّنَ النّسَآئِكُمْ الّتِى دَخَلْتُمْ بِهِنَّ، فَاِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ. وَ حَلآئِلُ اَبْنَآئِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلاَبِكُمْ. وَ اَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ اْلاُخْتَيْنِ اِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ، اِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا. النساء:22-23
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudar abapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-aak istrimu yang dalam pemepiharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS.An-Nisaa’ : 22-23]
Bantahan dan penjelasan
a. Penetapan diatas bertentangan dengan riwayat-riwayat yang sah dari Nabi SAW sebagai penjelas utama syariat Allah sebagaimana di bawah ini.
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: اَنَّ النَّبِيَّ ص يُقَبِّلُ بَعْضَ اَزْوَاجِهِ ثُمَّ يُصَلِّى وَ لاَ يَتَوَضَّأَ. احمد
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata : Sesungguhnya Nabi SAW pernah mencium salah seorang dari istrinya, kemudian terus shalat dengan tidak berwudlu lagi”. [HR. Ahmad]
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: اِنْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص لَيُصَلِّى وَ اِنِّى لَمُعْتَرِضَةٌ بَيْنَ يَدَيْهِ اِعْتِرَاضَ اْلجَنَازَةِ حَتَّى اِذَا اَرَادَ اَنْ يُوْتِرَ مَسَّنِى بِرِجْلِهِ. النسائى
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata, “Pada suatu waktu Rasulullah SAW sedang shalat, sedang aku tidur di hadapannya seperti jenazah, sehingga apabila Rasulullah SAW hendak mengerjakan witir, beliau menyentuhku dengan kakinya”. [HSR. Nasai]
b.  Bila dengan dasar ayat diatas menyentuh wanita itu membathalkan wudlu, maka harus ditetapkan pula menyentuh itu, kakak perempuan, bibi dan lain-lain itupun membathalkan wudlu. Karena lafadh النِّسَاءَ (wanita) dalam ayat 43 surat An-Nisaa’ dan ayat 6 surat Al-Maaidah itu umum, yakni siapasaja asal dia wanita, baik yang termasuk mahram seperti ibu,kakak perempuan, bibi dan lain-lain, maupun yang bukan mahram, tercakup dalam keumuman lafadh tersebut. Dan tidak ada nash yang shahih dan tegas dari agama, yang mengecualikan wanita-wanita yang mahram dari lafadh umum لَمَسْتُمُ النِّسَاءَ (kalian menyentuh wanita) pada ayat dimuka. Sedang jika ayat 22 dan 23 surat An-Nisaa’ itu dipakai dasar pengecualian wanita-wanita itu, maka hal itu tidak tepat, karena satu sama lain tidak ada munasabah (sangkut paut)nya sama sekali dan bidang hukum. Sebab ayat 43 surat AN-Nisaa’ dan ayat 6 surat Al-Maaidah itu adalah masalah shalat, tayammum, berhadats dan lain-lain yang termasuk bab Thaharah dan Shalat, sedang yang diterangkan dalam ayat 22 dan 23 surat An-Nisaa’ itu adalah masalah wanita-wanita yang diharamkan untuk dikawini, yang biasa disebut mahram, jadi termasuk bab Nikah. Maka kedua masalah dalam ayat-ayat diatas masing-masing berdiri sendiri pembahasannya, dan tidak dapat dicampur-adukkan satu dengan yang lain.
c.  Jika diperhatikan dengan seksama, maka akan tampak jelas bahwa yang dimaksud oleh لَمَسْتُمُ النِّسَاءَ  (kalian menyentuh wanita) itu adalah “kalian bersetubuh dengan wanita (istri-istrimu)”. Karena ayat-ayat itu menjelaskan kebolehan bertayammum sebagai pengganti wudlu dan mandi besar bagi orang yang hendak shalat karena sebab-sebab tertentu. Dan sebagaimana telah diterangkan, bahwa wudlu untuk shalat adalah bagi orang yang terkena hadats kecil sedang mandi besar adalah untuk yang yang terkena hadats besar. Berhadats kecil dalam ayat itu diisyaratkan oleh Allah dengan kalimat جَآءَ اَحَدٌ مّنْكُمْ مّنَ اْلغَائِطِ (seseorang diantara kamu datang dari tempat buang air), maka لَمَسْتُمُ النّسَآءَ (kalian menyentuh perempuan) adalah isyarat Allah bagi hadats besar, yang salah satu sebabnya adalah bersetubuh.
Jadi tidak dapat dimaknakan sekedar menyentuh, tetapi yang dimaksud adalah menyetubuhi wanita.